02 Agustus 2008

Kekuatan Tanpa Kekerasan



Saat itu, Dr. Arun Gandhi (cucu dari Mahatma Gandhi), masih berusia 16 Thn dan tinggal bersama orang tuanya di tengah-tengah kebun tebu, 18 mil di luar kota Durban, Afrika selatan. Mereka tinggal jauh di pedalaman dan tidak memiliki tetangga. Maka tidak herna kesempatan untuk pergi ke kota baga Arun dan dua saudara perempuannya adalah hal yang luar biasa..
Hari itu, Arun sangat gembira, Bagaimana tidak, Sang ayah minta di antar ke kota untuk menghadiri sebuah konfrensi, seharian penuh. Kota, bagi bagi pemuda abg ini adala laksana syurga, mengunjungi teman atau menonton bioskop adalah sebuah daya tarik tersendiri. Selain mengantar ayah dan menservices mobil ia pun mendapat order dari ibunya untuk belanja keperluan sehari-hari.
Pagi itu, setiba di tempat konferensi, ayahnya berkata, “ayah tunggu kau di sini jam 5 sore. Lalu kita akan pulang ke rumah bersama-sama”. Baik ayah, jawab Arun. Segera ia selesaikan semua pekerjaan yang dibebankan kepadanya.
Setelah semua selesai. Arun pergi ke bioskop dan dia benar-benar terpikat dengan dua permainan John Wayne sehingga lupa akan waktu. Begitu ia melihat jam ia terkejut demi melihat pukul 17:30. Arun berlari menuju bengkel dan teburu-buru menjemput ayahnya yang sudah menununggunya sedari tadi. Saat itu sudah hampir pukul 18:00.
Dengan gelisah ayahnya menanyakannya ”kenapa kau terlambat?”.
Arun sangat malu untuk mengakui bahwa dia menonton film John Wayne sehingga dia menjawab “Tadi mobilnya belum siap sehingga saya harus menunggu”. Padahal ternyata tanpa sepengetahuannya. Sang ayah telah menelepon bengkel mobil itu. Dan kini ayahnya tahu kalau arun berbohong.
Lalu Ayahnya berkata, “Ada sesuatu yang salah dalam membesarkan kau sehingga kau tidak memiliki keberanian untuk menceritakan kebenaran kepada ayah. Untuk menghukum kesalahan ayah ini, ayah akan pulang berjalan kaki dan memikirkannya baik-baik.”
Kemudian, dengan tetap mengenakan pakaian dan sepatu ayah tiga anak ini mulai berjalan kaki pulang ke rumah. Padahal hari sudah gelap, sedangkan 18 mil jarak yang harus mereka tempuh bukanlah jalan yang nyaman. Arun tidak bisa meninggalkan ayahnya, maka selama lima setengah jam, Arun mengendarai mobil pelan-pelan dibelakang beliau. Arun pun tersiksa, demi melihat penderitaan yang dialami oleh ayahnya hanya karena ketidak jujuran yang ia lakukan.
Sebuah kisah inspiratif ini, terus saja menghantui dan menginspirasi. Bukan apa, sebab disaat yang bersamaan beredar (kembali) kisah kekerasan dalam rumah tangga. Buah hati yang masih mungil itu cacat setelah disetrika oleh ayahnya karena sebuak kesalahan sepele.
Ndidik anak. Sebuah kata yang menjadi mantra pembenaran tindak kekerasan. Berdasarkan data Komnas Perlindungan Anak, tercatat 481 kasus kekerasan terhadap anak sepanjang tahun 2003. Angkanya meningkat menjadi 544 kasus pada 2004, baik itu berupa kekerasan seksual, fisik, psikologis, serta ekonomi. Yang mengejutkan, ternyata 60% pelaku kekerasan terhadap anak adalah orang tuanya sendiri tutur Dr. Seto Mulyadi.

Padahal menurut Dorothy Law Nolthe:

Jika anak dibesarkan dengan Permusuhan, ia belajar berkelahi.
Jika anak dibesarkan dengan Cemoohan, ia belajar Rendah Diri.
Jika anak dibesarkan dengan Penghinaan, ia belajar Menyesal Diri.
Jika anak dibesarkan dengan Toleransi, ia belajar Menahan Diri.
Jika anak dibesarkan dengan Dorongan, ia belajar Percaya Diri.
Jika anak dibesarkan dengan Pujian, ia belajar Menghargai.
Jika anak dibesarkan dengan Sebaik-baik perlakuan, ia belajar Keadilan.
Jika anak dibesarkan dengan Rasa aman, ia belajar Menaruh Kepercayaan.
Jika anak dibesarkan dengan Dukungan, ia belajar Menyenangi Dirinya.
Jika anak dibesarkan dengan Kasih sayang dan Persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam Kehidupannya.

Maraknya episode kekerasan yang melibatkan banyak pihak disekolah, dijalan, dikantor serta lainnya boleh jadi harus menjadi warning kita semua. Menjadikan itu semua momentum untuk merevolusi pola ndidik anak di rumah.
Tegas (untuk sesuatu yang fundamental) berbeda dengan keras. Ia tidak boleh hilang dan terabaikan memang. Menurut Gazhali, kita dan anak adalah bagaikan busur dan anak panahnya. Tugas busur adalah menaruh anak panah pada posisi yang tepat, menariknya dengan kuat, mengarahkannya kemudian melepaskannya dengan sekuat tenaga kearah yang benar tentunya.
Kembali ke kisah diatas, setelah Arun dewasa ia pun bertutur jujur mengenai kisah diatas; “Sering kali saya berfikir mengenai episode itu dan merasa heran. Seandainya Ayah menghukum saya sebagaimana kita menghukum anak-anak kita, maka apakah saya akan mendapatkan sebuah pelajaran mengenai kejujuran tanpa kekerasan? Saya kira tidak. Saya akan menderita atas hukuman itu dan melakukan hal yang sama lagi. Tetapi, hanya dengan satu tindakan tanpa kekerasan yang sagat luar biasa, sehingga saya merasa kejadian itu baru saja terjadi kemarin. Itulah kekuatan tanpa kekerasan. “Sejak itu saya berjanji, tidak akan pernah berbohong lagi.

Di kutip dari Buletin Lembaga Zakat Dompet Dhuafa Edisi bulan Juli 08

Jum'at Ceria


Bagi umat Islam hari jum'at adalah hari istimewa, sayyidul Ayyam, dimana begitu banyak kelebihan-kelebihan terdapat di dalamnya.

Dimulai kamis malam, selepas maghrib masjid & musholla mengumandangkan yasin, tahlil, dan tahmid sampai isya menjelang, dan tak lupa, malamnya bagi umat yang sudah berumah tangga merupakan malam ibadah dimana ibadah hubungan jasmani dilipat gandakan oleh Allah SWT.

Saya pribadi begitu exciting ketika hari kamis datang, "wah besok jum'at ya" ... rangkaian ibadahnya cukup sederhana pagi sebelum sholat jum'at potong kuku tangan, kaki, rapihkan kumis, jenggot dan bulu-bulu lainnya lanjut dengan mandi sunnah jum'at.

Sampai di Masjid, setelah baca do'a masuk masjid, saya berniat ber i'tikaf di dalam masjid (hakikatnya mulai duduknya kita di masjid, mendengarkan khutbah, sampi selesai sholat ju'm'at kita sedang duduk ber i'tikaf di dalam masjid, itu yang kyai saya ajarkan) sambil menunggu adzan berkumandang istighfar ya ghoffar 100 x mudah-mudahan dengan me wiridkan salah satu Asmaul Husna tsb, dosa kami di ampuni.

Setelah adzan berkumandang di mulailah rangkaian khutbah tapi bagi kita yang mengamalkan syariat tidak lupa untuk memperhatikan syarat sah dan rukun sholat jum'at itu sendiri.

Selesai sholat sebelum kaki berubah saya membaca Surat Fatihah, Al Falaq, An Nass, Al Ikhlas + Do'a Abu Nawas (Ilahilastulil Firdausi Ahlaa Walaa Akwal 'Alan Naaril Jahiymi ..... ) semuanya 7 x . Insya Allah Berkah rezeki Dunia Akhirat.

Pulang dari masjid waktunya istirahat persiapan acara nanti sore di pesantren ...

Adzan Ashar berkumandang setelah menunaikan sholat segera saya, istri dan anak berangkat ke Pesantren tidak jauh dari rumah, Jam 4 wirid bersama di mulai, wirid Haylalah, pembacaan Lailahaillallah 1000 x dan Asma Allah 1000 x, di lanjut dengan rangkaian do'a-do'a, setelahnya kami makan bersama biasanya di hidangkan Nasi Kebuli.

Adzan Magrib berkumandang, biasanya kami pulang dahulu ...

Adzan Isya berkumandang lagi, rangkaian kegiatan masih berlanjut, setelah sholat kami kembali ke pesantren.

Pesantren mengadakan pengajian umum, saat ini masih membahas 2 kitab, Bulughul Marom dan Riyadlus Sholihin, pengajian kitab kuning ini dilakukan dengan cara pembacaan kitab dan penjelasan secara lugas di sertai penjelasan tasawuf nya ...

Pengajian selesai jam 21.30 ...

Tak ada lelah dan penyesalan seharian meninggalkan pekerjaan, yang ada rasa puas dan bahagia bathin yang tak terkira.

Saatnya pulang dan istirahat, smoga masih di berikan umur oleh Allah untuk bertemu jum'at selanjutnya, jum'at yang ceria.