06 September 2008

Kuasai dan Kendalikan Dirimu



Hal yang paling sulit kita lakukan adalah mengalahkan musuh terbesar kita yaitu diri kita sendiri. Jika kita sudah dapat mengalahkan dan mengendalikan diri kita sendiri, berarti kita sudah mencapai tahap kecerdasan spiritual yang tinggi. Mengalahkan dan mengendalikan diri sendiri bukanlah sebuah peristiwa, tetapi sebuah kebiasaan dan kedisiplinan yang harus kita lakukan setiap hari.

Ada sebuah syair yang ditulis oleh penulis anonim, berjudul An Indian Prayer berbunyi demikian: ”I seek strength. Not to be greater than my brother, but to fight the greatest enemy, myself……” Syair ini saya temukan tertempel di kamar belajar seorang teman saya di Amerika Serikat dua puluh tahun yang lalu. Penyair ini telah menemukan rahasia terbesar kehidupan ini, yaitu pertempuran terus-menerus dengan dirinya sendiri.

Seseorang disebut ”kuat” ketika dia sudah menemukan cara untuk mengalahkan dan mengendalikan dirinya. Inilah hal yang kita sadari sangat kurang dalam diri kita. Mengalahkan dan mengendalikan diri, menurut JFC Fuller, seorang jenderal pada angkatan bersenjata Inggris, menunjukkan kebesaran karakter seseorang. Mengendalikan orang lain hanya menunjukkan sebagian kebaikan karakter kita. Jadi salah satu komponen yang penting dalam memperkaya kehidupan spiritual kita adalah pengendalian diri, yaitu mengalahkan musuh terbesar yaitu diri kita sendiri.
Lao Tsu, filsuf Cina, pernah mengatakan, ”Menundukkan orang lain membutuhkan tenaga. Menundukkan diri kita sendiri membutuhkan kekuatan.” Ternyata lebih mudah bagi kita untuk menundukkan orang lain daripada menundukkan diri sendiri. Seperti kita ketahui bahwa salah satu anugerah Tuhan kepada manusia adalah kesadaran diri (self awareness). Hal ini berarti kita memiliki kekuatan untuk mengendalikan diri. Kesadaran diri membuat kita dapat sepenuhnya sadar terhadap seluruh perasaan dan emosi kita. Dengan senantiasa sadar akan keberadaan diri, kita dapat mengendalikan emosi dan perasaan kita.

Namun seringkali kita ”lupa” diri, sehingga lepas kendali atas emosi, perasaan dan keberadaan diri kita. Oleh karena itu agar dapat mengendalikan dan menguasai diri, kita harus senantiasa membuka kesadaran diri kita melalui upaya memasuki alam bawah sadar (frekuensi gelombang otak yang rendah) maupun suprasadar melalui meditasi (red : Klo muslim berdzikir).

Dimensi Pengendalian Diri

Mengalahkan diri sendiri memiliki dua dimensi yaitu mengendalikan emosi dan disiplin. Mengendalikan emosi berarti kita mampu mengenali/memahami serta mengelola emosi kita, sedangkan kedisiplinan adalah melakukan hal-hal yang harus kita lakukan secara ajeg dan teratur dalam upaya mencapai tujuan atau sasaran kita.

a. Mengendalikan Emosi
Kecerdasan emosi merupakan tahapan yang harus dilalui seseorang sebelum mencapai kecerdasan spiritual. Seseorang dengan Emotional Quotient (EQ) yang tinggi memiliki fondasi yang kuat untuk menjadi lebih cerdas secara spiritual. Seringkali kita menganggap bahwa emosi adalah hal yang begitu saja terjadi dalam hidup kita. Kita menganggap bahwa perasaan marah, takut, sedih, senang, benci, cinta, antusias, bosan, dan sebagainya adalah akibat dari atau hanya sekedar respons kita terhadap berbagai peristiwa yang terjadi pada kita.
Menurut definisi Daniel Goleman dalam bukunya Emotional Intelligence, emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran-pikiran khasnya, suatu keadaan biologis dan psikologis, dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Sedangkan Anthony Robbins (penulis Awaken the Giant Within) menunjuk emosi sebagai sinyal untuk melakukan suatu tindakan.
Di sini dia melihat bahwa emosi bukan akibat atau sekedar respons tetapi justru sinyal untuk kita melakukan sesuatu. Jadi dalam hal ini ada unsur proaktif, yaitu kita melakukan tindakan atas dorongan emosi yang kita miliki. Bukannya kita bereaksi atau merasakan perasaan hati atau emosi karena kejadian yang terjadi pada kita.

b. Menguasai Diri dan Kedisiplinan
Kata ‘disiplin’ atau ‘self-control’ berasal dari bahasa Yunani, dari akar kata yang berarti ”menggenggam” atau ”memegang erat”. Kata ini sesungguhnya menjelaskan orang yang bersedia menggenggam hidupnya dan mengendalikan seluruh bidang kehidupan yang membawanya kepada kesuksesan atau kegagalan. John Maxwell mendefinisikan ‘disiplin’ sebagai suatu pilihan dalam hidup untuk memperoleh apa yang kita inginkan dengan melakukan apa yang tidak kita inginkan. Setelah melakukan hal yang tidak kita inginkan selama beberapa waktu (antara 30 – 90 hari), ‘disiplin’ akhirnya menjadi suatu pilihan dalam hidup untuk memperoleh apa yang kita inginkan dengan melakukan apa yang ingin kita lakukan sekarang!! Saya percaya kita bisa menjadi disiplin dan menikmatinya setelah beberapa tahun melakukannya.
Berikut saya mengutip tulisan John Maxwell tentang disiplin diri yang merupakan syarat utama bagi seorang pemimpin:
All great leaders have understood that their number one responsibility was for their own discipline and personal growth. If they could not lead themselves, they could not lead others. Leaders can never take others farther than they have gone themselves, for no one can travel without until he or she has first travel within. A leader can only grow when the leader is willing to ‘pay the price’ for it.
Dalam buku Developing the Leader Within You, John Maxwell menyatakan ada dua hal yang sangat sukar dilakukan seseorang. Pertama, melakukan hal-hal berdasarkan urutan kepentingannya (menetapkan prioritas). Kedua, secara terus-menerus melakukan hal-hal tersebut berdasarkan urutan kepentingan dengan disiplin.

Berikut beberapa hal yang perlu kita lakukan untuk meningkatkan disiplin diri:

1. Tetapkan tujuan atau target yang ingin dicapai dalam waktu dekat.
2. Buat urutan prioritas hal-hal yang ingin kita lakukan.
3. Buat jadwal kegiatan secara tertulis (saya selalu menempelkan jadwal kegiatan saya di dinding depan meja kerja saya di rumah).
4. Lakukan kegiatan sesuai dengan jadwal yang kita buat, tetapi jangan terlalu kaku. Jika perlu, kita dapat mengubah jadwal tersebut sesuai dengan kondisi dan situasi.
5. Berusahalah untuk senantiasa disiplin dengan jadwal program kegiatan yang sudah kita susun sendiri. Sekali kita tidak disiplin atau menunda kegiatan tersebut, akan sulit bagi kita untuk kembali melakukannya.

Melalui pengendalian emosi, penguasaan diri dan kedisiplinan kita dapat lebih memahami diri kita dan bagaimana cara memanfaatkan potensi luar biasa dalam diri kita sehingga kita menjadi manusia yang lebih cerdas secara spiritual. Namun, semua ini tidak akan ada artinya jika kita tidak melakukan sesuatu. Kita harus melakukan sesuatu untuk mencapai kehidupan yang berkelimpahan dan berkualitas, karena hanya kita sendiri yang dapat mengubah kehidupan kita.

Dikutip dari :
Aribowo Prijosaksono (email:aribowo_ps@hotmail.com) dan Roy Sembel (http://www.roy-sembel.com) adalah co-founder dan direktur The Indonesia Learning Institute – INLINE (http://www.inline.or.id), sebuah lembaga pembelajaran untuk para eksekutif dan profesional.

02 September 2008

Kangen ...



Kangen suasana ketika saya kecil ...

ketika setelah sholat tarawih berkumpul rapih dan manis, menyimak teman-teman bergantian membaca Al Qur'an ayat demi ayat a'in demi a'in ...

Kangen suasana malam yang tak sepi seperti sekarang, dimana masjid dan musholla ramai akan kegiatan tadarrus dan silaturrahim ...

Kangen teman-teman remaja masjid tarawih keliling, buka puasa bareng, pesantren kilat bareng, sahur bareng dan bakti sosial ...

semuanya tak tergantikan, pengalaman-pengalaman, kenangan-kenangan itu ...

Demi masa, sesungguhnya manusia merugi, kecuali mereka yang beriman.
Ingatlah selalu 5 Perkara sebelum datang yang 5.

- Sehat sebelum Sakit
- Muda sebelum Tua
- Kaya sebelum Miskin
- Lapang sebelum Sempit
- Hidup sebelum Mati

31 Agustus 2008

Melahirkan dan merealisasikan anak yang sholeh (Part 2)



Melanjutkan tulisan sebelumnya ...

Kita sebagai orang tua harus mampu menjadi bijaksana, mesti mampu memperhatikan langkah-langkah yang harus di tempuh dalam merealisasikan obsesi dalam melahirkan anak yang shalih. Di bawah beberapa langkah yang cukup representatif dan membantu mewujudkan obsesi tersebut:

1. Opini atau persepsi orang tua atau anak yang shalih tersebut harus benar-benar sesuai dengan kehendak Islam berdasarkan Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam , bersabda:

إِذَا مَاتَ بْنُ آدَمَ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ، صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْ لَهُ.

Artinya: “Jika wafat anak cucu Adam, maka terputuslah amalan-amalannya kecuali tiga: Sadaqah jariah atau ilmu yang bermanfaat atau anak yang shalih yang selalu mendoakannya.” (HR.Muslim)

Dalam hadits ini sangat jelas disebutkan ciri anak yang shalih adalah anak yang selalu mendoakan kedua orang tuanya. Sementara kita telah sama mengetahui bahwa anak yang senang mendoakan orang tuanya adalah anak sedari kecil telah terbiasa terdidik dalam melaksanakan kebaikan-kebaikan,melaksanakan perintah-perintah Allah Subhannahu wa Ta'ala , dan menjauhi larangan-laranganNya. Anak yang shalih adalah anak yang tumbuh dalam naungan DienNya, maka mustahil ada anak dapat bisa mendoakan orang tuanya jika anak tersebut jauh dari perintah-perintah Allah Subhannahu wa Ta'ala dan senang bermaksiat kepadaNya. Anak yang senang bermaksiat kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala , jelas akan jauh dari perintah Allah dan kemungkinan besar senang pula bermaksiat kepada kedua orang tuanya sekaligus.
Dalam hadits ini dijelaskan tentang keuntungan memiliki anak yang shalih yaitu, amalan-amalan mereka senantiasa berkorelasi dengan kedua orang tuanya walaupun sang orang tua telah wafat. Jika sang anak melakukan kebaikan atau mendoakan orang tuanya maka amal dari kebaikannya juga merupakan amal orang tuanya dan doanya akan segera terkabul oleh Allah Subhannahu wa Ta'ala .
Jadi jelaslah bagi kita akan gambaran anak yang shalih yaitu anak yang taat kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala , menjauhi larangan-laranganNya, selalu mendoakan orang tuanya dan selalu melaksanakan kebaikan-kebaikan.

2. Menciptakan lingkungan yang kondusif ke arah tercipta-nya anak yang shalih.
Lingkungan merupakan tempat di mana manusia melaksana-kan aktifitas-aktifitasnya. Secara mikro lingkungan dapat dibagi dalam tiga bagian, yaitu:

a. Lingkungan keluarga
Keluarga merupakan sebuah institusi kecil dimana anak mengawali masa-masa pertumbuhannya. Keluarga juga merupakan madrasah bagi sang anak. Pendidikan yang didapatkan merupakan pondasi baginya dalam pembangunan watak, kepribadian dan karakternya.
Jika anak dalam keluarga senantiasa terdidik dalam warna keIslaman, maka kepribadiannya akan terbentuk dengan warna keIslaman tersebut. Namun sebaliknya jika anak tumbuh dalam suasana yang jauh dari nilai-nilai keIslaman, maka jelas kelak dia akan tumbuh menjadi anak yang tidak bermoral.
Seorang anak yang terlahir dalam keadaan fitrah, kemudian orang tuanyalah yang mewarnainya, Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda:

كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ. (رواه البخاري).

Artinya: “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan yang fitrah (Islam), maka orang tuanya yang menyebabkan dia menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi.” (HR. Al-Bukhari)

Untuk itu orang tua harus dapat memanfaatkan saat-saat awal dimana anak kita mengalami pertumbuhannya dengan cara menanamkan dalam jiwa anak kita kecintaan terhadap diennya, cinta terhadap ajaran Allah Subhannahu wa Ta'ala dan RasulNya Shallallaahu alaihi wa Salam, sehingga ketika anak tersebut berhadapan dengan lingkungan lain anak tersebut memiliki daya resistensi yang dapat menangkal setiap saat pengaruh negatif yang akan merusak dirinya.
Agar dapat memudahkan jalan bagi pembentukan kepribadian bagi anak yang shalih, maka keteladanan orang tua merupakan faktor yang sangat menentukan. Oleh karena itu, selaku orang tua yang bijaksana dalam berinteraksi dengan anak pasti memperlihatkan sikap yang baik, yaitu sikap yang sesuai dengan kepribadian yang shalih sehingga anak dapat dengan mudah meniru dan mempraktekkan sifat-sifat orang tuanya

b. Lingkungan Sekolah
Sekolah merupakan lingkungan di mana anak-anak berkumpul bersama teman-temannya yang sebaya dengannya. Belajar, bermain dan bercanda adalah kegiatan rutin mereka di sekolah. Sekolah juga merupakan sarana yang cukup efektif dalam membentuk watak dan karakter anak. Di sekolah anak-anak akan saling mempengaruhi sesuai dengan watak dan karakter yang diperolehnya dalam keluarga mereka masing-masing. Anak yang terdidik secara baik di rumah tentu akan memberi pengaruh yang positif terhadap teman-temanya. Sebaliknya anak yang di rumahnya kurang mendapat pendidikan yang baik tentu akan memberi pengaruh yang negatif menurut karakter dan watak sang anak.
Faktor yang juga cukup menentukan dalam membentuk watak dan karakter anak di sekolah adalah konsep yang diterapkan sekolah tersebut dalam mendidik dan mengarahkan setiap anak didik.
Sekolah yang ditata dengan managemen yang baik tentu akan lebih mampu memberikan hasil yang memuaskan dibandingkan dengan sekolah yang tidak memperhatikan sistem managemen. Sekolah yang sekedar dibangun untuk kepentingan bisnis semata pasti tidak akan mampu menghasilkan murid-murid yang berkwalitas secara maksimal, kualitas dalam pengertian intelektual dan moral keagamaan.
Kualitas intelektual dan moral keagamaan tenaga pengajar serta kurikulum yang dipakai di sekolah termasuk faktor yang sangat menentukan dalam melahirkan murid yang berkualitas secara intelektual dan moral keagamaan.
Oleh sebab itu orang tua seharusnya mampu melihat secara cermat dan jeli sekolah yang pantas bagi anak-anak mereka. Orang tua tidak harus memasukkan anak mereka di sekolah-sekolah favorit semata dalam hal intelektual dan mengabaikan faktor perkembangan akhlaq bagi sang anak, karena sekolah tersebut akan memberi warna baru bagi setiap anak didiknya.
Keseimbangan pelajaran yang diperoleh murid di sekolah akan lebih mampu menyeimbangkan keadaan mental dan intelektualnya. Karena itu sekolah yang memiliki keseimbangan kurikulum antara pelajaran umum dan agama akan lebih mampu memberi jaminan bagi seorang anak didik.

c. Lingkungan Masyarakat
Masyarakat adalah komunitas yang terbesar dibandingkan dengan lingkungan yang kita sebutkan sebelumnya. Karena itu pengaruh yang ditimbulkannya dalam merubah watak dan karakter anak jauh lebih besar.
Masyarakat yang mayoritas anggotanya hidup dalam kemaksiatan akan sangat mempengaruhi perubahan watak anak kearah yang negatif. Dalam masyarakat seperti ini akan tumbuh berbagai masalah yang merusak ketenangan, kedamaian, dan ketentraman.
Anak yang telah di didik secara baik oleh orang tuanya untuk selalu taat dan patuh pada perintah Allah Subhannahu wa Ta'ala dan RasulNya, dapat saja tercemari oleh limbah kemaksiatan yang merajalela disekitarnya. Oleh karena itu untuk dapat mempertahankan kwalitas yang telah terdidik secara baik dalam institusi keluarga dan sekolah, maka kita perlu bersama-sama menciptakan lingkungan masyarakat yang baik, yang kondusif bagi anak.

Melahirkan dan merealisasikan anak yang sholeh (Part 1)



Malam tadi, ketika saya dan istri sedang menyantap hidangan sahur, anak saya sabiq bangun dari tidurnya, padahal atas kesepakatan saya dan istri kami tidak akan membangunkan si kecil yang beberapa hari yang lalu itu genap berusia 1 tahun …

Si kecil pun akhirnya ikut makan sahur, pada romadlon pertama dalam hidupnya …

Terbersit oleh saya memang sudah semestinya si kecil bangun, mungkin ini sudah di atur Allah, ini merupakan pendidikan sedari dini, pembiasaan, bila orang tuanya beribadah maka sudah semestinya si kecil di sertakan … sahur merupakan rangkaian ibadah dari pada bulan romadlon.

Sekedar informasi, anak saya ini sudah bisa adzan walaupun belum jelas ataupun ketika saya sholat baik wajib atau sunah pasti anak saya ini menghampiri saya dia akan ikut sujud apabila saya sujud …

Memang tak mudah untuk menciptakan generasi yang islami di zaman sekarang ini …

Semua harus di awali dari diri kita sendiri, dan ini merupakan rangkaian …

1. Di awali dari sang orang tua, ketika remaja dahulu saya sudah berencana untuk mendapatkan istri yang akan melahirkan dan mendidik anak-anak saya dengan islami dan baik, dan untuk mencapainya saya ber ikhtiyar untuk mendawamkan ibadah2 di luar ibadah wajib, salah satunya ibadah sholat dhuha dimana salah satu fadhilah nya adalah untuk mendapatkan jodoh yang baik “di mata Allah” …

2. Rangkaian selanjutnya adalah ketika proses “pembuatan” sang anak, sebagian besar dari kita bila sudah satu tempat tidur dengan istri pasti lupa untuk berwudlu terlebih dahulu, (memang syetan sangat lihai menggoda), pastikan untuk selalu berwudlu terlebih dahulu, jangan lupa untuk rangkaian do’a-do’a nya, dan setelah “proses pembuatan” itu jangan lupa untuk ber wudlu lagi plus niat untuk memperoleh anak keturunan yang sholeh sholehah dan di ridloi Allah …

3. Proses kehamilan pun menjelang, pastikan untuk memberikan suplemen “rohani” yang baik di samping suplemen jasmani pada si jabang bayi yang masih berada dalam kandungan, banyak cara yang bisa dilakukan yang apabila di paparkan disini akan sangat panjang …

4. Proses kelahiran, siapkan diri anda untuknya … siapkan tatacara menyambut sang bayi, dari mulai syariatnya sampi perlengkapannya.

5. Setelah proses kelahiran, usahakan untuk terus menjaga, mensupport ibu dan sang bayi, saya sudah mencucikan baju anak saya sedari bayi, membantu mengurus keperluan sang ibu dan bayi (ini tidak akan terjadi apabila saya tidak ber wira usaha, saya tidak terikat oleh jam kantor …).

6. Anak mulai besar (anak saya berumur 1 tahun) contohkan perbuatan2 baik, biasakan untuk berdo’a sebelum melakukan aktivitas apapun, jaga dan rawat anak dengan kasih sayang …

Semoga tulisan ini membantu saya untuk mengingat hal-hal yang pernah terjadi pada keluarga dan diri, menuju masa depan yang lebih baik dan di ridloi Allah SWT, Amien


Marhaban Yaa Syahru Romadlon ...